Selasa, 29 Juni 2010

Pertentangan Ideologi Sastra Antara Lekra Dengan Manikebu

Oleh:
Afif Afandi (0911110105)






Bab I
PENDAHULUAN
1.Latar Belakang
Lembaga Kebudayaan Rakyat, atau yang biasa disingkat Lekra adalah organisasi kebudayaan yang berada di bawah naungan PKI (Partai Komunis Indonesia). Lembaga ini merupakan federasi seni non pemerintah yang berorientasi pada Komunis. Di dalam Lekra, sastra sangat erat hubungannya dengan pembelaan terhadap rakyat. Sastra harus mengabdi di bawah ketiak Komunis untuk memperjuangkan nasib buruh dan petani yang tertindas. “ Sastra untuk rakyat” itulah pandangan Lekra terhadap sastra. Namun sikap seperti itu tidak diiringi dengan prinsip kebebasan dalam bersastra. Sehingga cenderung memasung kebebasan sastrawan untuk mengekspresikan karyanya.
Konsep Lekra yang terlalu membatasi kebudayaan dan sastra menimbulkan pertentangan dari kalangan sastrawan dan seniman. Mereka membuat Manifesto Kebudayaan sebagai tandingan Lekra. Golongan Manikebu memandang ideologi sastra “ sastra untuk sastra”. Hal ini bermakna bahwa sastra itu bebas, tidak bisa ditunggangi kepentingan tertentu seperti politik dan slogan-slogan yang lainnya. Sastra itu bebas dipersembahkan bagi kepentingan manusia.
Hampir tidak ada orang yang berani meneliti ataupun membahas topik tentang Lekra di era orde baru, karena hal itu sangat diharamkan oleh pemerintah. Bahan-bahan apa saja yang ada di perpustakaan umum kebanyakan hilang dalam pembersihan buku. Hal itu diperburuk dengan hilangnya pengarang-pengarang terkemuka yang tergabung di dalam Lekra dari percaturan Indonesia sejak tahhun 1965 itu.
Pembahasan ideologi sastra dibawah naungan Lekra dan Manikebu bermaksud untuk mengungkapkan pertentangan ideologi dan masa kelam yang menyelimuti dunia kesusastraan Indonesia. Pertentangan ideologi antara sastra yang bernaung di bawah Lekra dengan ideologi sastra yang di anut oleh golongan Manifesto Politik (Manikebu) merupakan pembahasan yang masih jarang dilakukan oleh kalangan sastrawan. Oleh karena itu, penulis berusaha mencoba menguak kebenaran sejarah kesusastraan Indonesia di bawah naungan Lekra dan Manikebu.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah ideologi sastra dalam naungan Lekra?
2. Siapakah sastrawan Lekra yang terlibat dalam perang ideologi sastra?
3. Bagaimanakah ideologi sastra yang ada di dalam Manifesto Kebudayaan?
4. Siapakah Sastrawan Manikebu yang terlibat dalam perang ideologi sastra ?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui dan memahami tentang ideologi sastra dalam naungan Lekra.
2. Mengetahui sastrawan Lekra yang terlibat dalam perang ideologi sastra.
3. Mengetahui dan memahami ideologi sastra yang ada di dalam Manifesto
Kebudayaan.
4. Mengetahui Sastrawan Manikebu yang terlibat dalam perang ideologi sastra
1.4 Metode Penulisan
    Penulisan ini termasuk dalam penulisan deskriptif dengan pendekatan kualitatif yang artinya bahwa data yang diperoleh dinyatakan dalam bentuk verbal, yaitu berupa bentuk kata-kata secara tertulis.
1.4.ManfaatPenulisan
1.Bagi Penulis
1. Penulis bisa mengetahui dan memahami tentang ideologi sastra dalam naungan
Lekra.
2. Penulis bisa mengetahui sastrawan Lekra yang terlibat dalam perang ideologi
sastra.
3. Penulis bisa mengetahui dan memahami ideologi sastra yang ada di dalam
Manifesto Kebudayaan.
4. Penulis bisa mengetahui Sastrawan Manikebu yang terlibat dalam perang ideologi
sastra
2.Bagi Pembaca
1. Pembaca bisa mengetahui dan memahami tentang ideologi sastra dalam naungan
Lekra.
2. Pembaca bisa mengetahui sastrawan Lekra yang terlibat dalam perang ideologi
sastra.
3. Pembaca bisa mengetahui dan memahami ideologi sastra yang ada di dalam
Manifesto Kebudayaan.
4. Pembaca bisa mengetahui Sastrawan Manikebu yang terlibat dalam perang ideologi
sastra








Bab II
Pembahasan

2.1 Ideologi sastra di bawah naungan Lekra
Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) didirikan pada tanggal 17 Agustus 1950 di Jakarta. Lekra merupakan organisasi kebudayaan yang berada di bawah naungan PKI (Partai Komunis Indonesia). Lekra bekerja khususnya di bidang kebudayaan, kesenian dan ilmu. Diantara pendirinya adalah A.S Dharta, yang selanjutnya dipilih menjadi Sekretaris umum ( dalam Lekra tidak digunkan istilah ketua), Joebaar Ajoeb, kemudian menggantikan A.S Dharta (1958), Henk Ngantung, M.S Ashar, Iramani (Njoto).
Alasan pendirian Lekra tersebut dalam Mukadimah antara lain: “ Gagalnya Revolusi Agustus 1945 berarti juga gagalnya perjungan pekerja kebudayaan untuk menghancurkan kebudayaan kolonial dan menggantinya dengan kebudayaan yang demokratis, dengan kebudayaan Rakyat”. Salah satu tanda tentang itu ialah ditandatangani Perjanjian KMB di bidang politik, dan lembaga kerjasama kebudayaan Indonesia-Belanda di bidang kebudayaan. Lekra juga bertujuan menghimpun tenaga dan kegiatan para penulis, seniman, dan pelaku kebudayaan lainnya, serta berkeyakinan bahwa kebudayaan dan seni tidak bisa dipisahkan dari rakyat
Lekra termasuk anggota Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional tapi Lekra sebagai organisasi lebih ketat daripada BMKN. Lembaga ini telah mendirikan 18 cabang di propinsi yang dikepalai oleh perwakilan-perwakilan yang merekrut para anggota lokal. Lembaga ini dalam perkembangannya menjadi sebuah badan yang homogen yang diikat dengan erat oleh ideologi Lekra. Cabang-cabang tersebut memiliki seksi yang disebut realis dinamo, yakni sebuah kelompok yang aktif dalam produksi pertunjukan-pertunjukan populer yang menghibur yang disulam dengan propaganda.
Konsep dasar sastra Lekra adalah (1) Seni untuk rakyat: sastra mengabdi dan mem bela kepentingan kaum buruh dan kaum tani yang digambarkan tertindas oleh kaum borjuis, kaum feodal dan kaum kapitalis. Sastra ini memusuhi kaum penindas, di samping kaum agama dan sastra yang berhaluan humanisme-universal; (2) Politik adalah panglima: kepentingan politik komunis di atas segalanya. Sastra Lekra tunduk kepada kepentingan PKI. Semboyan sastra Lekra dalam hal ini adalah "Kesalahan politik lebih jahat daripada kesalahan artistik"; (3) Meluas dan meninggi: meluas artinya sastra harus setia kepada kaum buruh dan kaum tani, sedangkan meninggi berarti sastra harus seimbang antara kreatifitas dengan peningkatan ideologi PKI; (4) Gerakan turun lee bawah: sastrawan Lekra harus mengenal kaum tani dan kaum buruh secara objektif dan baru mengengkatnya dalam karya sastra; (5) Organisasi: kedudukan organisasi penting membentuk seorang sastrawan sosialis. Dalam organisasi tersebut para sastrawan dapat saling memberikan kritik, saling memberi dan menerima. Lekra memiliki wadah sastra untuk melakukan kegiatannya, antara lain, Harian Rakyat, Sunday Courier, Bintang Timur, majalah Jaman Baru.
Di dalam buku Sastra Indonesia Modern II karya Dr. A. Teeuw di jelaskan bahwa Lekra menempatkan ideologi di atas seni. Apa yang penting bagi seniman adalah pemahaman bahwa dirinya- tidak berbeda dari kaum politik, ilmuan atau karyawan – terlibat sebagai peserta dalam perjuangan untuk pembebasan rakyat dari penindasan kelas yang berkuasa. Dalam basis seni secara teoritis, Lekra selalu menekankan tanggung jawab politik dan moral seniman terhadap rakyat yang menderita, tetapi hampir tidak pernah memasuki masalahnya yang penting, yaitu bagaimana tanggung jawab politik dan moral ini bisa dan harus dijabarkan ke dalam kreasi artistik atau dalam bahasa lain yaitu bagaimana ideologi itu harus dituangkan di dalam seni. Oleh sebab itu, universalisme, humanisme, serta individualisme semuanya pantas dicela. Tetapi teori tentang perjuangan kelas ini tidak pernah dikabarkan lebih lanjut dalam ke dalam teori sastra atau ke dalam suatu rumuan kaidah-kaidah oleh Lekra. Sebagai suatu garis, karya pengarang Lekra yang paling baik adalah cerita-cerita atau sajak sederhana belaka, yang ditulis dengan bahasa sederhana, dan melukiskan gambaran yang mengakibatkan tentang “korban” apa saja yang sebagian besar klise, misalnya petani miskin dan buruh tani atau gadis tak berdosa yang dengan keji diperdayakan dan dikhianati oleh bos yang kapitalis, atau perempuan pekerja miskin yang tertindas dan dibayar rendah.
Pengarang Lekra sangat jarang dengan alat sastranya berhasil menyeret pembacanya yang tidak sepaham ke dalam penderitaan si korban yang dilukiskan dalam karyanya itu. Mereka tidak bisa memunculkan getaran simpati dalam sajak-sajak maupun cerita-cerita yang mereka tulis. Dengan hasil karya sastra seperti itu, ideologi marxisme kehilangan sisa kredibilitas atau kepercayaan yang masih ada sebagai suatu asas artistik.

2.2 Sastrawan Lekra
Tokoh-tokoh sastrawan Lekra adalah A.S. Dharta alias Klara Akustia alias Yogaswara, Agam Wispi, S. Regar, Rumambi, Sobron Aidit, Hersri Setiawan dan lain-lain. Sastrawan di luar Lekra yang berhasil "ditarik" ke dalam Lekra adalah Pramoedya Ananta Toer, S. Rukiyah dan Utuy Tatang Sontani. Dan dibawah ini adalah profil dari beberapa sastrawan tersebut.
1)Sobron Aidit
Sobron Aidit lahir di Tanjung Pandan, Belitung, 2 Juni 1934. Ia adalah penulis dan penyair yang besar pada zaman Orde Lama. Sebagai penulis, ia menulis cerita-cerita pendek. Ia bertahun-tahun hidup dalam pengasingan di Paris (Perancis) dan meninggal dalam usia 73 tahun. Ia adalah adik pemimpin Partai Komunis Indonesia D.N. Aidit. Pendidikannya ditempuhnya di HIS di Belitung, dan kemudian melanjutkan hingga ke Universitas Indonesia di Jakarta.
Sejak masa remajanya, Sobron telah aktif mengarang. Karangannya yang pertama dibuatnya pada usia 13 tahun berupa cerita pendek, "Kedaung" yang diterbitkan dalam Majalah Waktu di Medan. Pindah ke Jakarta, Sobron bertemu dengan Chairil Anwar yang kebetulan tinggal bersama kakaknya. Chairil banyak membimbingnya dalam penulisan dan kreativitas Sobron pun kian berkembang. Puisi dan cerpennya terbit di berbagai majalah, seperti Mimbar Indonesia, Zenith, Kisah, Sastra, yang semuanya diasuh oleh H.B. Jassin. Penerbitan lain yang memuat karya-karyanya adalah Harian Sunday Courier, Republik, Bintang Timur (Bintang Minggu), Harian Rakjat, Zaman Baru, Kencana, Siasat, Mutiara, dll.
Sobron pernah memperoleh penghargaan Hadiah Sastra untuk karya-karyanya. Cerpennya, "Buaja dan dukunnja" mendapatkan penghargaan dari Majalah Kisah/Sastra pada 1955-1956, dan cerpennya "Basimah" mendapatkan penghargaan dari Harian Rakjat Kebudayaan pada 1961.
Pada 1960-1962, ia aktif sebagai pengurus Lembaga Persahabatan Indonesia-Vietnam bersama K. Werdoyo dan Nyak Diwan, dan pengurus Baperki bersama Siauw Giok Tjhan dan Buyung Saleh (1960-1961). Sebagai seniman, Sobron mendirikan kelompok "Seniman Senen" bersama SM Ardan, Wim Umboh dll.
Pada tahun 1963 ia mendapat undangan untuk menjadi Guru Besar Sastra dan Bahasa Indonesia di Institut Bahasa Asing Beijing (1964). Di samping itu ia tetap menjadi wartawan, antara lain untuk Peking Review. Sobron dan keluarganya bermukim di Beijing atau Tiongkok sebagai pengajar di Institut Bahasa Asing. Sejak itu, ia tak bisa pulang ke Indonesia. Karena, bila ia kembali, keselamatannya tidak terjamin.
Selama Orde Baru, karya-karya Sobron, termasuk karyanya bersama orang lain, dilarang beredar. Meskipun demikian, tulisan-tulisannya tetap muncul di berbagai media di Indonesia, semuanya dengan nama sambaran. "Saya punya 25 nama samaran selama 32 tahun," Sobron mengaku.
Sobron telah menjadi warga negara Perancis karena telah di cap sebagai antek PKI yang tidak bisa lagi menjadi warga negara indonesia. Dan dengan paspor Perancis ia sudah beberapa kali berkunjung ke Indonesia. Ia juga menggunakan nama "Simon". Sobron terkena serangan jantung dua hari sebelum ia meninggal di rumah sakit di Paris, Perancis pada tanggal 10 Februari 2007.
2) Hersri Setiawan
Hesri lahir pada tanggal 3 Mei 1936 di Yogyakarta. Ia adalah seorang sastrawan Indonesia yang pernah lama ditahan di Pulau Buru karena keterlibatannya dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) pada tahun 1950-an.
Ia belajar sosiologi di Universitas Gadjah Mada dan Akademi Seni Drama dan Film di Yogyakarta. Sejak di bangku kuliah ia sudah aktif dalam penerbitan pers dan kebudayaan. Ia kemudian menjadi aktivis Front Nasional dan Lekra, dan menjadi Ketua Lekra cabang Jawa Tengah.
Pada 1961-1965 ia diangkat menjadi wakil Indonesia dalam organisasi Persatuan Pengarang Asia-Afrika dan ditempatkan di pusat organisasi itu di Kolombo, Sri Lanka. Karena pergolakan politik yang disebabkan oleh pergantian rezim di negara itu, pada bulan Agustus 1965 Hersri kembali ke Indonesia. Namun di negara kelahirannya itu, ia menghadapi pergolakan yang jauh lebih hebat, yaitu peristiwa G30S yang terjadi sebulan setelah ia kembali ke Indonesia.
Karena organisasinya dianggap terkait dengan Partai Komunis Indonesia, Hersri pun dianggap tersangkut dalam G30S, dan karenanya ditangkap dan menjadi tahanan politik Orde Baru. Ia ditahan berpindah-pindah dari RTC (Rumah Tahanan Chusus) Salemba, ke penjara Tangerang, lalu mendekam di Pulau Buru selama sembilan tahun (1969-1978).
Selepas dari Buru, ia bekerja sebagai penulis, editor dan penerjemah. Namun karena menyandang stigma eks-tapol, di masa Orde Baru karya-karyanya seringkali muncul tanpa nama atau dengan menggunakan nama samaran.
Ia pernah menjadi penyunting untuk "Ensiklopedia Indonesia" sebanyak 7 jilid yang diterbitkan oleh PT Ikhtiar Baru-Van Hoeve. Antara 1987 dan 2004 Hersri tinggal di pengasingan di Belanda. Pada tahun 2004, Hersri pulang ke tanah air dan kini tinggal di Jakarta dan Yogyakarta.
Karya-karya tulis Hersri Setiawan antara lain adalah:"Masalah Pendewasaan Anak-anak di Pulau Buru" (1981?), "Pengantar Kajian Ranggawarsita", "Between the Bars" dalam Frank Stewart, "Silenced Voices", Dunia yang belum sudah (1993), Negara Madiun? - kesaksian Soemarsono, pelaku perjuangan (2002), Aku eks-tapol (2003), Kamus Gestok (2003), Memoar Pulau Buru (2004), Soekarno Menggugat, Soeharto Sehat (ko-penulis) (2006), In Search of Silenced Voices (rekaman wawancara dengan orang-orang Indonesia yang hidup di pengasingan)
3) A.S. Dharta
Sastrawan Indonesia ini lahir di Cibeber, Cianjur, 7 Maret 1924, dan meninggal di Cibeber, Cianjur, 7 Februari 2007. Nama sebenarnya Adi Sidharta, tetapi biasa disingkat A.S. Dharta. Nama aliasnya bejibun. Yang sering dipakai adalah Klara Akustia. Lainnya: Kelana Asmara, Jogaswara, Rodji, Barmara Poetra, dan masih banyak lagi.
Jiwanya bergejolak sejak menjadi anak angkat Okayaman, salah seorang tokoh pergerakan yang dibuang ke Boven Digul. Dan makin dimatangkan di sekolah Nationaal Handele Lallegiun (NHL) di bawah didikan Douwes Dekker. Di masa revolusi, dia bergabung dengan Angkatan Pemuda Indonesia (API) yang bermarkas di Menteng 31, keluar-masuk hutan, bergerak dari satu medan pertempuran ke medan pertempuran lain. Di Menteng 31 inilah dia mulai mengenal Soekarno, sejumlah tokoh politik, dan juga seniman-seniman.
Dia pernah menjadi wartawan Harian Boeroeh di Yogyakarta. Dia memimpin serikat buruh: Serikat Buruh Kendaraan Bermotor, Serikat Buruh Batik, Serikat Buruh Pelabuhan, termasuk di lembaga induknya, Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Lalu dimatangkan lewat International Union of Students (IUS), World Federation of Democratic Youth, dan World Federation of Trade Unions, yang membuatnya berkeliling ke sejumlah negara bekas-bekas kolonialisme.
Bersama M.S. Azhar dan Njoto, A.S. Dharta mendirikan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) pada 17 Agustus 1950 dan menjadi sekretaris jenderal (Sekjen) pertamanya. Ia masuk penjara di Kebonwaru, Bandung tahun 1965-1978.
Puisi, esai, kritik sastra, dan catatan perjalanannya tercecer di sejumlah media dalam dan luar negeri, serta masuk dalam antologi bersama. Dia juga berkolaborasi dengan Amir Pasaribu, yang tahun 2006 menerima penghargaan Akademi Jakarta untuk bidang musik, menghasilkan antara lain lagu "Irama Mei". Karya A.S Dharta antara lain Saidjah dan Adinda (naskah drama, adaptasi novel karya Multatuli yang diterjemahkah Bakri Siregar), dan Rangsang Detik (kumpulan sajak, 1957).
4) Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya lahir di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 192. Secara luas, ia dianggap sebagai salah satu pengarang yang produktif dalam sejarah sastra Indonesia. Pramoedya telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa asing.
Pada masa kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di Jawa dan kerap ditempatkan di Jakarta pada akhir perang kemerdekaan. Ia menulis cerpen serta buku di sepanjang karier militernya dan ketika dipenjara Belanda di Jakarta pada 1948 dan 1949. Pada 1950-an ia tinggal di Belanda sebagai bagian dari program pertukaran budaya, dan ketika kembali ke Indonesia ia menjadi anggota Lekra, salah satu organisasi sayap kiri di Indonesia. Gaya penulisannya berubah selama masa itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam karyanya Korupsi, fiksi kritik pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap korupsi. Hal ini menciptakan friksi antara dia dan pemerintahan Soekarno.
Selama masa itu, ia mulai mempelajari penyiksaan terhadap Tionghoa Indonesia, kemudian pada saat yang sama, ia pun mulai berhubungan erat dengan para penulis di Tiongkok. Khususnya, ia menerbitkan rangkaian surat-menyurat dengan penulis Tionghoa yang membicarakan sejarah Tionghoa di Indonesia, berjudul Hoakiau di Indonesia. Ia merupakan kritikus yang tak mengacuhkan pemerintahan Jawa-sentris pada keperluan dan keinginan dari daerah lain di Indonesia, dan secara terkenal mengusulkan bahwa pemerintahan mesti dipindahkan ke luar Jawa. Pada 1960-an ia ditahan pemerintahan Soeharto karena pandangan pro-Komunis Tiongkoknya. Bukunya dilarang dari peredaran, dan ia ditahan tanpa pengadilan di Nusakambangan di lepas pantai Jawa, dan akhirnya di pulau Buru di kawasan timur Indonesia.
Selain pernah ditahan selama 3 tahun pada masa kolonial dan 1 tahun pada masa Orde Lama, selama masa Orde Baru Pramoedya merasakan 14 tahun ditahan sebagai tahanan politik tanpa proses pengadilan.
Ia dilarang menulis selama masa penahanannya di Pulau Buru, namun tetap mengatur untuk menulis serial karya terkenalnya yang berjudul Bumi Manusia, serial 4 kronik novel semi-fiksi sejarah Indonesia. Tokoh utamanya Minke, bangsawan kecil Jawa, dicerminkan pada pengalaman RM Tirto Adisuryo seorang tokoh pergerakkan pada zaman kolonial yang mendirikan organisasi Sarekat Priyayi dan diakui oleh Pramoedya sebagai organisasi nasional pertama. Jilid pertamanya dibawakan secara oral pada para kawan sepenjaranya, dan sisanya diselundupkan ke luar negeri untuk dikoleksi pengarang Australia dan kemudian diterbitkan dalam bahasa Inggris dan Indonesia.
Pramoedya dibebaskan dari tahanan pada 21 Desember 1979 dan mendapatkan surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat G30S/PKI, tapi masih dikenakan tahanan rumah di Jakarta hingga 1992, serta tahanan kota dan tahanan negara hingga 1999, dan juga wajib lapor satu kali seminggu ke Kodim Jakarta Timur selama kurang lebih 2 tahun.
Selama masa itu ia menulis Gadis Pantai, novel semi-fiksi lainnya berdasarkan pengalaman neneknya sendiri. Ia juga menulis Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995), otobiografi berdasarkan tulisan yang ditulisnya untuk putrinya namun tak diizinkan untuk dikirimkan, dan Arus Balik (1995).
Banyak dari tulisannya menyentuh tema interaksi antarbudaya; antara Belanda, kerajaan Jawa, orang Jawa secara umum, dan Tionghoa. Banyak dari tulisannya juga semi-otobiografi, di mana ia menggambar pengalamannya sendiri. Ia terus aktif sebagai penulis dan kolumnis. Ia memperoleh Ramon Magsaysay Award untuk Jurnalisme, Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif 1995. Ia juga telah dipertimbangkan untuk Hadiah Nobel Sastra. Ia juga memenangkan Hadiah Budaya Asia Fukuoka XI 2000 dan pada 2004 Norwegian Authors' Union Award untuk sumbangannya pada sastra dunia. Ia menyelesaikan perjalanan ke Amerika Utara pada 1999 dan memperoleh penghargaan dari Universitas Michigan.
Sampai akhir hayatnya ia aktif menulis, walaupun kesehatannya telah menurun akibat usianya yang lanjut dan kegemarannya merokok. Pada 12 Januari 2006, ia dikabarkan telah dua minggu terbaring sakit di rumahnya di Bojong Gede, Bogor, dan dirawat di rumah sakit. Menurut laporan, Pramoedya menderita diabetes, sesak napas dan jantungnya melemah.
2.3. Ideologi Sastra di bawah Naungan Manikebu
Manikebu atau kepanjangan dari Manifesto Kebudayaan adalah konsep kebudayaan nasional yang dikeluarkan oleh para penyair dan pengarang pada 17 Agustus 1963. Manifestasi ini dilakukan guna melawan dominasi dan tekanan dari golongan kiri, dengan ideologi kesenian dan kesusastraan realisme sosial yang dipraktekkan oleh seniman-seniman yang terhimpun dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).
Diilhami oleh semangat humanisme universal yang pertama kali dinyatakan lewat Surat Kepercayaan Gelanggang, Manifesto ini menyerukan, antara lain, pentingnya keterlibatan setiap sektor dalam perjuangan kebudayaan di Indonesia. Manifesto itu sendiri tidak menjabarkan dengan terinci langkah-langkah apa yang perlu diambil untuk memperjuangkan "martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia di tengah masyarakat bangsa-bangsa". Sehingga bisa dikatakan butir-butir yang disampaikan sebenarnya sama sekali tidak berlawanan dengan semangat yang hidup pada zaman itu: keinginan "menyempurnakan kondisi hidup manusia".
Sebanyak duapuluh lima seniman dan sastrawan menandatangani pernyataan sikap tentang cita-cita dan politik kebudayaan nasional, dengan penegasan pancasila sebagai falsafah kebudayaan atau bisa disebut sebagai Manikebu. Diantara seniman dan sastrawan tersebut adalah H.B Jassin, Trisno Sumardjo, Wiratmo Soekitno, Zaini, Bokor Hutasusut, Goenawan Mohamad, Ras Siregar, Djufri Tanissan, Soe Hok Djin (Arif Budiman), D.S Moeljanto dan lain-lain.
Sekilas lintas Manifes Kebudayaan tidak terasa sangat revolusioner, tetapi sangat khas Indonesia: yang tersirat lebih penting dari yang tersurat. Penegasannya tentang keragaman kebudayaan dan penekanannya terhadap kreativitas artistik sebagai tujuan yang sendirinya berharga, lepas dari ideologi politik, adalah nkritik tegas terhadp cita-cita kebudayaan Lekra yang monolit, dengan berpegang kepada politik sebagai pemimpin, dan karenanya segala-galanya ditundukkan kepada politik sebagai tujun akhir.
Manifes kebudayaan menggugah jawaban yang hebat. Ia diterbitkan dan diulas secara luas oleh banyak penerbitan. Ia disambut gembira oleh masyarakat dan dibenarkan oleh sejumlah besar organisasi.Seakan-akan orang-orang yang tidak merasa bergabung dengan Lekra telah lama menunggu-nunggu suara yang seperti dilantunkan sebagai suatu seruan bersatu, dan sebagai pernyataan bahwa kemerdekaan yang mereka angan-angankan belum hilang selamanya.
Bagi Lekra , tanggapan hebat terhadap Manikebu ini tentu saja diterima dengan sangat terkejut. Sejak semula Lekra telah melawan Manikebu, namun tidak dianggapnya terlalu serius. Sehingga Lekra melakukan serangan balasan yang sengit dengan mencaci maki Manikebu sebagai “imperialis”,”kapitalis”, “kontrarevolusi”. Kemudian pada tanggal 8 Mei 1964, Soekarno melalui Dekrit Presiden menyatakan Manikebu sebagai ilegal, dengan alasan resmi yang dikemukakan ialah bahwa kecuali Manifesto Politik sebagai garis besar haluan negara, tidak ada manifesto lain yang diperbolehkan, terlebih-lebih karena Manifesto Kebudayaan Menunjukkan sikap ragu-ragu terhadap revolusi.
2.4 Sastrawan Manikebu
Diantara seniman dan sastrawan Manikebu adalah H.B Jassin, Trisno Sumardjo, Wiratmo Soekitno, Zaini, Bokor Hutasusut, Goenawan Mohamad, Ras Siregar, Djufri Tanissan, Soe Hok Djin (Arif Budiman), D.S Moeljanto dan lain-lain. Dan di bawah ini adalah beberapa seniman tersebut.
1) Goenawan Soesatyo Mohamad
Goenawan mohamad lahir di Karangasem, Batang, Jawa Tengah, 29 Juli 1941. Ia adalah seorang sastrawan Indonesia terkemuka. Ia juga salah seorang pendiri Majalah Tempo. Pendiri dan mantan Pemimpin Redaksi Majalah Berita Tempo, ini pada masa mudanya lebih dikenal sebagai seorang penyair. Ia ikut menandatangani Manifesto Kebudayaan 1964 yang mengakibatkannya dilarang menulis di berbagai media umum. Ia menulis sejak berusia 17 tahun, dan dua tahun kemudian menerjemahkan puisi penyair wanita Amerika, Emily Dickinson. Sejak di kelas 6 SD, ia mengaku menyenangi acara puisi siaran RRI. Kemudian kakaknya yang dokter, ketika itu berlangganan majalah Kisah, asuhan H.B Jassin. Goenawan yang biasanya dipanggil Goen, belajar psikologi di Universitas Indonesia, ilmu politik di Belgia, dan menjadi Nieman Fellow di Harvard University, Amerika Serikat. Goenawan menikah dengan Widarti Djajadisastra dan memiliki dua anak.
Selama kurang lebih 30 tahun menekuni dunia pers, Goenawan menghasilkan berbagai karya yang sudah diterbitkan, diantaranya kumpulan puisi dalam Parikesit (1969) dan Interlude (1971), yang diterjemahkan ke bahasa Belanda, Inggris, Jepang, dan Prancis. Sebagian eseinya terhimpun dalam Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin Kundang (1972), Seks, Sastra, dan Kita (1980). Tetapi lebih dari itu, tulisannya yang paling terkenal dan populer adalah Catatan Pinggir, sebuah artikel pendek yang dimuat secara mingguan di halaman paling belakang dari Majalah Tempo. Konsep dari Catatan Pinggir adalah sekedar sebagai sebuah komentar ataupun kritik terhadap batang tubuh yang utama. Artinya, Catatan Pinggir mengambil posisi di tepi, bukan posisi sentral. Sejak kemunculannya di akhir tahun 1970-an, Catatan Pinggir telah menjadi ekspresi oposisi terhadap pemikiran yang picik, fanatik, dan kolot.
Kumpulan esainya berturut turut: Potret Seorang Peyair Muda Sebagai Malin Kundang (1972), Seks, Sastra, Kita (1980), Kesusastraan dan Kekuasaan (1993), Setelah Revolusi Tak Ada Lagi (2001), Kata, Waktu (2001), Eksotopi (2002).
Sajak-sajaknya dibukukan dalam Parikesit (1971), Interlude (1973), Asmaradana (1992), Misalkan Kita di Sarajevo (1998), dan Sajak-Sajak Lengkap 1961-2001 (2001). Terjemahan sajak-sajak pilihannya ke dalam bahasa Inggris, oleh Laksmi Pamuntjak, terbit dengan judul Goenawan Mohamad: Selected Poems (2004).
2)Arief Budiman
Arif Budiman lahir di Jakarta, 3 Januari 1941. Dilahirkan dengan nama Soe Hok Djin, ia adalah seorang aktivis demonstran Angkatan '66 bersama dengan adiknya, Soe Hok Gie. Pada waktu itu ia masih menjadi mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Indonesia di Jakarta. Ayahnya seorang wartawan yang bernama Soe Lie Piet.
Sejak masa mahasiswanya, Arief sudah aktif dalam kancah politik Indonesia, karena ia ikut menandatangani Manifesto Kebudayaan pada tahun 1963 yang menentang aktivitas LEKRA yang dianggap memasung kreativitas kaum seniman.
Kendati ikut melahirkan Orde Baru, Arief bersikap sangat kritis terhadap politik pemerintahan di bawah Soeharto yang memberangus oposisi dan kemudian diperparah dengan praktek-praktek korupsinya. Pada pemilu 1973, Arief dan kawan-kawannya mencetuskan apa yang disebut Golput atau Golongan Putih, sebagai tandingan Golkar yang dianggap membelokkan cita-cita awal Orde Baru untuk menciptakan pemerintahan yang demokratis.
Belakangan Arief "mengasingkan diri" di Harvard dan mengambil gelar Ph.D. dalam ilmu sosiologi serta menulis disertasi tentang keberhasilan pemerintahan sosialis Salvador Allende di Chile.
Kembali dari Harvard, Arief mengajar di UKSW (Universitas Kristen Satya Wacana) di Salatiga. Ketika UKSW dilanda kemelut yang berkepanjangan karena pemilihan rektor yang dianggap tidak adil, Arief melakukan mogok mengajar, dipecat dan akhirnya hengkang ke Australia serta menerima tawaran menjadi profesor di Universitas Melbourne.
3) Hans Bague Jassin
H.B. Jassin lahir di Gorontalo, Sulawesi Utara, 13 Juli 1917 – meninggal di Jakarta, 11 Maret 2000 pada umur 82 tahun. Ia adalah seorang pengarang, penyunting, dan kritikus sastra ternama dari Indonesia. H.B. Jassin menyelesaikan pendidikan dasarnya di HIS Balikpapan, lalu ikut ayahnya pindah ke Pangkalan Brandan, Sumatera Utara, dan menyelesaikan pendidikan menengahnya (HBS) di sana. Pada saat itu ia sudah mulai menulis dan karya-karyanya di muat di beberapa majalah. Setelah sempat bekerja sukarela di kantor Asisten Residen Gorontalo selama beberapa waktu, ia menerima tawaran Sutan Takdir Alisjahbana untuk bekerja di badan penerbitan Balai Pustaka tahun 1940. Setelah periode awal tersebut, H.B. Jassin menjadi redaktur dan kritikus sastra pada berbagai majalah budaya dan sastra di Indonesia; antara lain Pandji Poestaka, Mimbar Indonesia, Zenith, Sastra, Bahasa dan Budaya, Horison, dan lain-lain.
Kritik sastra yang dikembangkan H.B. Jassin umumnya bersifat edukatif dan apresiatif, serta lebih mementingkan kepekaan dan perasaan daripada teori ilmiah sastra. Sedemikian besarnya pengaruh H.B. Jassin terhadap lingkungan sastra Indonesia, sehingga pernah membuatnya dijuluki sebagai "Paus Sastra Indonesia". Pada awal periode 1970-an, beberapa sastrawan beranggapan bahwa kritik sastra H.B. Jassin bergaya konvensional, sedangkan pada saat itu telah mulai bermunculan para sastrawan yang mengedepankan gaya eksperimental dalam karya-karya mereka.
Beberapa peristiwa dan kontroversi sastra pernah melibatkan H.B. Jassin. Pada tahun 1956, ia membela Chairil Anwar yang dituduh sebagai plagiat, melalui bukunya yang terkenal berjudul "Chairil Anwar Penyair Angkatan 45". Ia juga turut menanda-tangani Manifesto Kebudayaan (Manikebu) tahun 1963, yang membuatnya dikecam sebagai anti-Soekarno oleh kalangan Lekra dan membuatnya dipecat dari Lembaga Bahasa Departemen P & K dan staf pengajar UI. Demikian pula ketika ia muat cerpen "Langit Makin Mendung" karya Ki Panji Kusmin di majalah Sastra tahun 1971. Karena menolak mengungkapkan nama asli pengarang cerpen yang isinya dianggap "menghina Tuhan" tersebut, H.B. Jassin dijatuhi hukuman penjara satu tahun dengan masa percobaan dua tahun.













Bab III
Penutup
3.1 Kesimpulan
1. Ideologi sastra Lekra adalah “sastra untuk rakyat”. Sastra digunakan untuk memperjuangkan nasib petani dan buruh yang tertindas. Namun hal itu membuat sastra menjedi terbelenggu dan cenderung tidak bebas karena dituntut bersifat revolusioner.
2. Tokoh-tokoh seniman dan sastrawan Lekra adalah A.S. Dharta alias Klara Akustia alias Yogaswara, Agam Wispi, S. Regar, Rumambi, Sobron Aidit, Hersri Setiawan dan lain-lain. Sastrawan di luar Lekra yang berhasil "ditarik" ke dalam Lekra adalah Pramoedya Ananta Toer, S. Rukiyah dan Utuy Tatang Sontani.
3. Ideologi sastra Manikebu adalah “sastra untuk sastra”. Sasta digunakan sepenuhnya untuk kebutuhan manusia. Sastrawan berhak untuk bebas mengekspresikan sastra tanpa ada batasan yang menghalangi untuk berkarya.
4.Tokoh-tokoh seniman dan sastrawan Manikebu adalah H.B Jassin, Trisno Sumardjo, Wiratmo Soekitno, Zaini, Bokor Hutasusut, Goenawan Mohamad, Ras Siregar, Djufri Tanissan, Soe Hok Djin (Arif Budiman), D.S Moeljanto dan lain-lain

3.2 Saran
1) Sastra adalah suatu kebebasan. Seseorang ataupun lembaga yang menyekat sastra dalam ideologi yang terikat hanya akan meruntuhkan orang atau lembaga tersebut. Oleh karena itu, janganlah membatasi dan menunggangi sastra untuk kepentingan sendiri.
2) Sastrawan yang bernaung dibawah Lekra dan Manikebu telah menunjukkan hal besar untuk mempertahankan ideologi mereka. Sehingga mereka berhasil menjadi sastrawan yang besar. Kita patut meniru perjuangan positif mereka untuk menjadi sastrawan yang produktif dalam melahirkan karya sastra.






Daftar Pustaka
Setiawan, Hersri. Kamus Gestok. Yogyakarta: Galang Press, 2003
Teeuw, A, Dr. Sastra Indonesia Modern II, Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1989
Aleida, Martin. Leontin Dewangga, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003
Badil, Rudy, dkk. Soe Hok-gie …Sekali lagi Buku Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya, Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2009
Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). www.jakarta.go.id
Lembaga Kebudayaan Rakyat. www.wikipedia.com
ManifestoKebudayaan (Manikebu). www.wikipedia.com
Sobron Aidit. www.wikipedia.com
Hersri Setiawan. www.wikipedia.com
A.S Dharta. www.wikipedia.com
Goenawan Mohamad. www.wikipedia.com
Arif Budiman. www.wikipedia.com
H.B Jassin. www.wikipedia.com